Opening title siaran usai…….
“Selamat malam Sobat Jivi FM. Jumpa lagi bersama saya, Refangga Katresna, selama satu jam ke depan dalam Halo Cinta. Apa kabar cinta malam ini? Mudah-mudahan ada dalam kabar yang baik.” Bibir Azan masih terus bergerak pertanda ia mengawali siaran dengan menggunakan nama udara Refangga Katresna..
“Oke, seperti biasa Sobat, kali ini kita akan berbagi cerita cinta dalam Halo Cinta, gimana cerita cinta sobat hari ini? Menyenangkan, menyebalkan, bikin BT atau sepertia apa, saya pun tak tahu tentunya. Dan sebelum kita melangkah lebih jauh lagi, mending kita simak dulu satu lagu dari miliknya Ungu, dengan Cinta dalam hati. Jangan kemana-mana dulu, pastinya tetap di Halo Cinta!”
Azan menghela nafas. Segunung ketegangan karena keterlambatannya ke studio menguap seketika. Ia baru tiba hampir 15 menit sebelum siaran dimulai. Sehingga Ia harus berjalan tergesa-gesa. Terlihat kulitnya berkeringat, kian bertambah hitam saja seperti bulu yang gosong dalam oven. Tapi banyak orang bilang sih, biar hitam, tapi katanya hitam-hitam mengasyikkan. Ia lulus SMU, eh pesantren 4 tahun yang lalu. Ia sebenarnya merasa aneh, bukan karena apa-apa, tapi aneh dengan nasibnya yang hingga detik ini masih tetap berkutat dalam profesinya sebagai seorang penyiar radio, dengan gajih yang pas-pasan. Sepertinya, Tuhan telah bertindak tidak adil. Itu yang ada dalam fikiran Azan yang sudah begitu kacau.
“Shalat, saya shalat. Doa, kurang gimana doa? Tapi, kenapa tuhan tetap nggak mau mendengarkan? Menurutmu kenapa tuh, Rey?” Azan akhirnya bertanya setelah selama beberapa menit tadi terus bercuap-cuap mengungkapkan segala unek-uneknya yang sudah bulukan. Bulukan karena dari waktu ke waktu hanya itu-itu saja yang menjadi sumber masalahnya.
Rey, yang sudah beberapa minggu ini menjadi teman curhatnya yang sangat setia, tersenyum ringan.
“Kamu kan sudah jadi penyiar radio. Apa itu bukan kerjaan?”
Azan tahu, Rey berbicara seperti itu maksudnya supaya dirinya mau bersyukur. Tapi, entah kenapa mulutnya malah manyun.
“Dulu kan saya sudah cerita. Masa kamu nggak inget?”
Lagi-lagi Rey yang baru berumur dua puluhan itu tersenyum bijak. Ia berusaha mengingat-ingat lagi dialog antara mereka yang terjadi satu bulan yang lalu, ketika pertama kali Rey berkunjung ke studionya Azan tepatnya di daerah Pagaden.
Bisa dibilang, Azan sudah mulai bosan dengan profesinya sebagai penyiar radio, karena tak tahan mendengar omelan ibu dan ayahnya, yang selalu mengecap sosok seorang penyiar sebagai orang yang nggak bener, setidaknya begitu menurut pikirannya, yang terus-terusan mencapnya malas, tidak seperti pemuda lain yang sibuk lari ke sana ke mari mencari lowongan kerja.
Pembelaan Azan selalu klise,
“Saya bukannya nggak mau. Tapi, kan kamu tahu sendiri, buat masuk kerja kantoran misal, kita harus nyogok dulu ratusan bahkan hingga jutaan? Duit segede itu saya punya dari mana? Ngerampok bank?”
Ya memang benar. Justru anehnya, walaupun Azan sudah bosan untuk jadi penyiar radio, eh sampai sekarang ternyata Azan tetap ngotot untuk terus berkarier di radio, karena menurut dia, hanya itulah kemampuan ilmu yang dia miliki, malah Azan kepengen punya radio sendiri, “ Sepertinya kalau punya radio sendiri enak, Rey. Saya adalah owner radio yang bisa bikin manajemen radio idaman, punya karyawan banyak, bisa ngatur ini itu, punya penghasilan yang lumayan lah. Cobalah saya kasih wiridan apa Mbah, biar keinginan saya cepat terlaksana.”
Rey tersenyum geli mendengar ujung kalimat Azan.
“Spertinya kamu malah tambah stress. Bagaimana kalau kita ngopi dulu?”
Azan menggeleng tegas, dan tidak biasanya, rupanya yang terjadi kali ini berbeda, dan Azan tetap menggeleng.
Kalau sudah begitu, Rey mengerti bahwa masalahnya harus masuk kategori “Unit Gawat Darurat”. Jadi ia biarkan mulut Azan berceloteh seperti bunyi kereta ekspres memuntahkan seluruh polusi yang membuat otaknya mumet.
Azan protes pada pemerintah yang dinilainya tidak becus membuka lapangan kerja, protes pada bapaknya yang menurutnya tidak demokratis. Protesnya juga ditujukan pada Tuhan yang menurutnya telah bertindak diskriminatif dalam membagikan rezekinya.
Kalau sudah begitu, Rey buru-buru mengingatkannya agar tidak kebablasan mengamini sepak terjang iblis.
“Sikap kamu ini karena kamu belum mengerti bahwa apa yang Allah berikan adalah yang terbaik. Percaya deh, apa yang menjadi rezeki kita, walau bagaimanapun tetap akan menjadi milik kita. Kita jangan sampai buruk sangka sama Allah.”
Untaian kalimat itu biasanya mampu menundukkan pikiran Azan yang mulai liar seperti banteng spanyol yang dipanas-panasi matador.
Azan termenung. Ah, ternyata benar kata iblis, sedikit sekali manusia yang bisa bersyukur kepada Tuhannya. Azan jadi menyadari betapa selama ini otaknya mampet tak bisa dijejali rasa terima kasih kepada Tuhan.
********
6 bulan kemudian
Sepasang burung kenari terbang rendah melewati jendela kamarku. Cericitnya seakan mensubsitusi kokok ayam pagi hari ini bagiku. Jam tujuh pagi sudah. Tadi habis shalat shubuh aku tertidur lagi. Ya, shalat shubuh ke tujuh yang kulakukan setelah pencarianku pada muara kehidupan. Seperti biasa ku bersiap-siap untuk menjalani seperti biasa profesiku sebagai seorang penyiar radio. Tapi untuk kali ini ada sesuatu yang berbeda. Beda karena memang aku bekerja di radio yang berbeda dari yang sebelumnya.
Elshifa FM nama radio itu. Dengan segmen acara yang tentunya berbeda dari radio-radio yang sudah kulalui. Yang lebih menitik beratkan pada program dakwah dan kental denga kajian keislamannya. Lumayan ribet juga di awal-awal aku bersiaran. Aku butuh beberapa hari untuk penyesuaian. Maklum lah backgroundku kan dari radio umum. Tapi paling tidak ini adalah sebuah tantangan bagiku. Tantangan untuk bersiaran lebih professional lagi, jadi seorang penyiar yang serba bisa.
“Ini mungkin adalah jawaban dari Allah dari semua yang kutanya-tanyakan tentang masa depanku, nyesel juga aku sempat ber-suudzon kepada Allah, padahal mungkin belum waktunya saja Allah memberikan jawabannya, Dan Allah pun menjawabnya sekarang.” Sesal Azan.
“Aku tinggal di lingkungan yang dinamis. Dinamis karena memang aku tinggal di lingkungan miniatur masyarakat yang islami. Aku bisa lebih dekat lagi sama Allah. Pengahsilanku juga sekarang, ya lumayan lah dari pada hasil-hasil sebelumnya aku bersiaran di radio di jaman Jahiliyah.
Mulailah aku bersiaran dengan penuh semangat, ku terima telephon demi telephon yang masuk, sms demi sms yang masuk juga ku baca. Dan ku baca sms salah satunya berisi di ujungnya “ A ada salam dari ibu, kapan mau main ke rumah!” tapi tak kubaca langsung mengudara, hanya dalam hati saja.
“Eh ternyata dari Nifa! Ternyata dia suka dengerin radio juga ya? otomatis dong dengerin suaraku juga yang lagi bercuap-cuap siaran. Cihuyyyy… bahagia sekali! Perlahan ia membaca ulang isi sms Nifa yang berisikan sms request untuk pendengar radio.
Azan, yang lagi ke-GRan dengan dirinya itu tersenyum sendiri. Dia ulang-ulang membaca sms itu. Dinding radio yang putih bersih membawa angannya melayang. Membuka memorinya tentang sesosok gadis yang selama ini selalu menghiasi angan-angannya.
“Kalau dulu sewaktu aku sering ke rumahnya, aku kadang heran, kenapa ya setiap melihat Nifa, dadaku berdegup tak beraturan? Padahal dianya sih biasa-biasa saja kalau melihatku.dengan pandangan yang sewajarnya saja. Dia memang cantik, pintar, melihat jalannya yang tenang, pandangannya yang tunduk, jilbabnya yang lebar, Subhanallah, tampak anggun di kejauhan dan kian menarik apabila mendekat, senyumnya? Ah, inikah namanya cinta? Aku jadi ingin bernasyid, Aku ingin jadi matamu…. ( Nasyid By.Zero). Jangan kau berpaling dari cinta. Cinta dari yang maha pencipta, kau pasti tergoda..
Hati Azan terasa lebih tenang kini, ruangan studionya tempat ia bersiaran malah menjadi tempat berbagi. Ah, bayangan Nifa masih melintas dalam angannya, lalu matanya berkaca-kaca. “Seperti apa ya Nifa sekarang?”
Pernah Azan putuskan untuk sms ke Nifa melalui nomor yang ia lihat di computer sewaktu Nifa request senandung. “Ya awalnya iseng saja, aku kirim sms tanpa nama, begini isinya ( ini betul dengan Nifa?). Eh ternyata nomor yang di sms azan bukan nomornya nifa yang sebenarnya, tapi punya temen sekelasnya di sekolah.
Tidak ada komentar: